Mimpi
Aku masih ingin menggenggam erat rasa itu
Aku masih ingin menggapaimu
Dalam mimpi
Hanya itu tempat kita bertemu
Hanya itu sebatas rasa dapat kuungkap
Andai kau nyata di depanku
Andai kau memberi kesempatan untukku mengatakan
Mimpi
Hanya satu itu yang dapat kupertahankan tentangmu
Dan kau terus hidup di dalamnya
Hanya sebatas mimpi
Tidur adalah pekerjaan paling indah. Saat rintik hujan turun menyiratkan berjuta kenangan, aku lebih memilih terlelap dibalik selimut tebal. Kenangan tentang hujan hanya akan membuatku sakit. Lebih baik aku tidur dan bermimpi. Walau mimpi itu tak pernah bisa kuatur. Hanya itu media yang sanggup mempertemukan kami lagi.
Dia hampir selalu datang di mimpi-mimpiku. Dengan keadaan yang berbeda tentunya. Kami tak berbatas keadaaan dalam mimpi. Kami bisa melakukan apapun yang kami mau. Dia bisa memahami apa yang aku rasakan begitu juga sebaliknya. Kami saling menjaga dalam mimpi. Tak ada lagi penghalang antara kami berdua. Tak ada ruang dan jarak yang memisahkan. Semua terasa indah saat ia duduk disebelahku lalu kami bercerita tentang perjalanan hidup.
Semakin hari aku semakin gila akan mimpi-mimpi tentangnya. Mimpi itu bagai candu. Aku tak mampu berpisah dengan mimpiku. Hingga orang mengatakan aku berpenyakit. Jiwaku memang sakit. Sakit dan tak pernah mampu menerima bahwa ini semua hanya mimpi. SEMU. Aku menggilai hal yang tak nyata dalam hidupku.
Aku berjalan sendiri di dunia ini tanpa dia. Dia yang kini entah berada dimana, bersama siapa, melakukan apa, dan keadaannya bagaimana. Perih. Perih yang membuatku tak sanggup untuk terus bertahan di dunia nyata. Aku gila. Setiap aku terbangun, aku tersenyum lalu menangis sejadi-jadinya.
Aku menyadari duniaku gelap tanpanya. Aku hanya menjadi pengecut untuk diriku sendiri. Hanya mampu menjadi raja dalam mimpi-mimpiku. Bahkan aku tak pernah tergerak untuk kembali mencarinya. Tak pernah sedikit pun mencoba untuk bertanya bagaimana keadaannya.
Aku egois. Kenyataan itu menamparku keras-keras. Aku hanya mampu memilikinya dalam mimpi karena aku tak pernah mau mengungkapkan rasa itu. Aku tak pernah membiarkan ia mengetahui rasaku. Aku tak pernah peduli bagaimana rasanya padaku. Bagaimana perasaannya ketika ia mundur dan melihatku yang tak pernah memahami rasanya.
Aku tak bisa serta merta mengatakan rasa itu ada. Aku tak bisa mengungkapnya kar’na mulutku terkunci rapat. Bahkan dia yang kusayangi tak mampu membukanya. Hanya sebatas mimpi aku sanggup memberi ruang untuk rasaku sendiri. Hanya sebatas mimpi yang bisa aku berikan untuk rasa yang dulu ia miliki. Dan itu akan mengikatku hingga akhir.
Rizti Khairinnisa
Kamis, 23 Oktober 2008
re-post from khairinnisa.wordpress.com
No comments:
Post a Comment